Kamis, 30 Mei 2013

songket batubara

Produk Kultur di Bawah Rumah Panggung
Indonesia termasuk negara yang dikenal sebagai pengekspor kain tenun. Salah satunya adalah songket Batubara. Keunikan corak dan bahan kainnya menjadi salah satu daya tarik kain ini diminati hingga keluar negeri., Di balik itu pula ada kisah yang tak kalah unik dalam setiap helaian songket yang dihasilkan. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Batubara, Aguslan Simanjuntak, ketika bertandang ke kantor MedanBisnis, akhir pekan lalu, produksi songket Batubara selama ini bukanlah hasil maksimal para pengrajinnya.
“Mayoritas mata pencaharian warga Batubara kan nelayan, jadi para ibu dan remaja putri yang memiliki waktu senggang di tengah mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu suami mengolah hasil laut, barulah mereka menenun,” ungkap Aguslan.
Pada era 70-an, di kawasan itu setiap rumah pasti memiliki alat tenunannya sendiri, berupa alat tenun manual bernama gedokan. Gedokan itu biasanya diletak di bawah (kolong) rumah panggung, dan para ibu baru akan turun menenun jika ada waktu senggang.
Tenunan yang bersifat menyambi itulah yang membuat produksi songket tidak bisa diprediksi, sehingga bicara soal memasarkan produk sangat sulit dijangkau masyarakat di sana. Hanya sebagian warga saja yang serius mengelola tenunan songket menjadi bisnis. Sisanya, hanya menggunakan songket untuk keperluan keluarganya sendiri.
Bagi masyarakat Melayu Batubara, mengenakan kain songket untuk acara resmi seperti pesta perkawinan, adalah suatu hal yang wajib. Kain dibuat sebagus mungkin berdasarkan benang yang kadang menunjukkan taraf kesejahteraan mereka.
“Jadi semakin bagus songket yang dipakai, makin baiklah kondisi kehidupannya di mata para tetangga. Jadi memakai songket bisa menjadi hal yang prestisius,” ujar Aguslan.
Songket menjadi bagian kultur yang sulit dipisahkan dari masyarakat Batubara pada awalnya. Bahkan tolak ukur bagi seorang remaja putri untuk menikah adalah ketika dia sudah bisa menenun. Jika belum bisa, ia dianggap tidak layak untuk dijadikan istri. Sebab, ketika berumah tangga, pemenuhan kebutuhan pakaian dan kain biasanya dikerjakan sendiri oleh si istri, sesekali sambil bersenandung dekat anaknya yang bermain atau sedang tidur tak jauh darinya. Kadang juga, jika letak rumah berdekatan dengan tetangga yang juga sedang menenun, mereka akan ngobrol dengan sambil melempar pantun dan bercengkrama hingga sore.
Kain songket yang dikerjakan dengan santai, meski terlihat sederhana,  pembuatan songket bukanlah pekerjaan mudah. Untuk mengerjakan satu potong kain songket ukuran dua meter, dibutuhkan waktu tujuh hingga 12 hari. Bergantung pada tingkat kerumitan motif yang dituangkan pada kain. Motif yang dibuat juga beraneka ragam, sesuai dengan falsafah yang diyakini masyarakat Melayu nusantara. Pucuk Rebung, Bunga Manggis, Bunga Cempaka, Pucuk Caul, Tolak Betikam, hingga Naga Berjuang menjadi motif yang menghiasi kain songket Batubara.
Keragaman, tingkat kesulitan hingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan songket pun menjadikan kain yang dipakai sebagai pakaian kebesaran tersebut dibandrol dengan harga bervariatif bagi mereka yang ingin menjualnya bagi orang lain. Satu potong songket dipasarkan mulai dari harga Rp 150 ribu untuk jenis kerudung hingga Rp 2 juta rupiah untuk kain sarung. Sementara biaya yang harus dikeluarkan, dipergunakan untuk membeli benang sutra dan polyester dengan kebutuhan 45 ribu meter benang untuk menghasilkan satu potong kain songket ukuran dua meter.
Sempat Tenggelam Ditelan Songket Thailand dan Palembang
Hingga pertengahan 90-an, Batubara yang saat itu masih berada dalam lingkungan Kabupaten Asahan, sangat tekenal dengan kain tenunan yang biasa disebut Songket Batubara (tenunan batubara). Hal ini bisa dilihat dari hampir di setiap desa yang berada di kawasan Batubara, remaja putrinya selalu bertenun kain. Pada saat itu nilai jualnya sangat tinggi dan bisa menacapai pasar manca negara.
Itu terjadi pada era tahun 1980-an. Pada waktu itu kaum ibu yang bepergian khususnya undangan pesta pernikahan menjadikan kain songket batubara menjadi semacam sarung khusus yang dipakai untuk undangan pesta. Ada nilai prestisius tersendiri bagi para ibu yang mengenakannya pada momen-momen resmi. Namun, seiring berjalannya waktu dan maraknya gaya hidup ala barat dengan modernisme-nya, tolak ukur prestisius dunia fashion juga bergeser, kain songket batubara juga mulai memudar pesonanya. Mereka lebih senang bepakaian dengan pakaian bermotif dan berbahan modern.
Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Batubara, Aguslan Simanjuntak, ketika bertemu MedanBisnis, akhir pekan lalu. Ia mengatakan, jika saat ini jumlah pengrajin songket Batubara hanya berkisar 150 orang saja, dan itu pun mayoritas penenun masih bersifat tradisional yakni menggunakan alat manual yang biasa disebut gedokan. Sehingga produksi songket dari wilayah ini tidak lebih dari 5.000 helai per tahunnya.
Sistem pemasaran yang tidak dikuasai oleh para pengrajin songket tersebut juga membuat produksi dan penyebaran songket Batubara semakin lama semakin turun. Belum lagi dominasi pasar songket dari luar kota seperti Palembang dan Thailand yang lebih murah karena diproduksi dengan mesin, sudah merambah pasar Sumut dan sekitarnya. Hal ini membuat posisi songket Batubara semakin kehilangan pamor di hati pengguna songket. Barang bermerek asal eropa dan Amerika Serikat sedikit banyak juga mempengaruhi ruang gerak songket Batubara ini, sebab nilai prestisiusnya juga mulai pudar karena dianggap kuno.
“Songket Thailand memang sudah merambah pasar Asia Tenggara, karena selain mereka sangat didukung oleh pemerintahnya, nilai tradisional dan komersil bisa berjalan seiring, sehingga baik dari sisi budaya maupun bisnisnya bisa tetap hidup dan menghidupi pengrajinnya. Itulah yang ingin kita terapkan di Batubara ini, membangkitkan songket Batubara kembali,” tukas Aguslan bersemangat.
Tahun 2010, pihaknya menargetkan produksi songket Batubara bisa mencapai 10.000 helai per tahun. Caranya dengan memberi bantuan kepada pengrajin berupa alat tenun bukan mesin (ATBM) yang meskipun harganya lebih mahal dua kali lipat dari gedokan, namun hasil produksinya tiga kali lipat lebih cepat. Pemkab Batubara akan merangkul sejumlah sponsor untuk memberikan bantuan alat serta penyuluhan kepada pengrajin. Pihaknya akan menggandeng pengrajin Batubara, terutama yang ada di Kecamatan Telawi, dan pengrajin tenunan asal Yogyakarta untuk mendapatkan pembinaan dan peningkatan produksi kerajinan.
Selain itu, pengrajin juga akan dibekali pengetahuan untuk membuat hak cipta. Sebab, meski menenun pesanan songket dengan berbagai corak dan warna dari berbagai propinsi di tanah air hingga ke mancanegara, namun sebagian besar songket tenunan pengrajin Batubara yang tidak diberi merek dan tidak satu pun juga yang telah didaftarkan di Lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Hal ini penting karena menyangkut citra dan karakteristik songket hasil Batubara.
Dalam kesempatan berbincang panjang lebar dengan MedanBisnis, Aguslan juga menghimbau agar hendaknya masyarakat kembali mencari jati dirinya yang hilang. Salah satunya dengan membangkitkan kembali budaya – budaya yang dulu pernah menjadi tren di kalangan masyrakat Batubara. Hal ini tidak terlepas dari sejauh mana perhatian pemerintah daerah terhadap budaya Melayu itu sendiri.
“Pemerintah punya peran penting dalam menggali unsur – unsur dasar yang di masyarakat kabupaten Batubara. Namun masyarakat juga harus pro aktif melalui tokoh – tokoh masyarakat dalam mengembalikan jati diri budaya tersebut,” ujar Aguslan.
Modifikasi Hantarkan ke Catwalk Nusantara
Tidak bisa dipungkiri bahwa produksi harus dibarengi dengan strategi pemasaran yang jitu. Harus dilihat tren pasar seperti apa yang sedang digandrungi, sehingga ada penyesuaian yang bisa melancarkan distribusi ke masyarakat. Kain songket Batubara juga demikian. Tidak harus berkutat sebagai sarung dan kain ikat, tapi perlu ada modifikasi bentuk sehingga bisa diterima konsumen yang lebih luas lagi.
Seorang perancang busana asal Batubara, Oki Wong, sudah membuktikan hal itu. Koleksi busananya yang mengambil kain songket Batubara sebagai bahan dasar dan motif telah mendobrak kekakuan songket Batubara yang mulai hilang pamor. Sebagai putra daerah, Oki sangat menyayangkan keindahan motif songket Batubara tenggelam begitu saja ditelan dominasi songket dari luar daerah yang lebih murah dan memiliki sistem pemasaran yang lebih baik.
“Songket Batubara terkenal sangat indah dan memiliki aneka warna seperti pelangi. Bagaimana keindahannya ini bisa dikenakan oleh setiap orang tanpa dibatasi kekakuan adat dan budaya, sehingga songket Batubara bisa diterima oleh semua kalangan, itu yang menjadi penting saat ini,” ujar Oki, ketika berbincang dengan MedanBisnis, akhir pekan lalu.
Oki masih terbilang baru dalam dunia songket Batubara secara professional. Yakni sejak 2008 lalu. Rasa mirisnya melihat songket Batubara yang sempat dikenalnya sangat popular dulu, kini mulai ditinggalkan banyak orang. Padahal, nilai budayanya cukup tinggi. Lihat saja keindahan motifnya sangat beraneka ragam, karena dipengaruhi oleh berbagai macam latar budaya. Hal ini karena masyarakat Batubara yang berada di daerah pesisir dulunya banyak disinggahi oleh kapal laut dari berbagai bangsa. Karena itu walaupun ada sedikit kekhasan dalam motif, songket Batubara bisa diterima di banyak negara, termasuk India.
Namun, Oki berpikiran bahwa songket Batubara yang beraneka warna itu harus dimodifikasi, dirancang menjadi aneka gaun atau busana modern sesuai tren mode terkini. Dan itulah yang kemudian direalisasikannya. Tahun ini saja, sejumlah koleksi hasil rancangannya mulai menyeruak ke catwalk nusantara, seperti di Jakarta dan Surabaya. Termasuk pada peragaan busana di ajang Jaka dan Dara kota Medan 2009. Bahkan, koleksinya dipakai oleh para finalis Kontes Dangdut TPI (KDI) 2009, baik penyanyi wanita maupun pria.
Pada acara KDI tersebut, Oki mengambil tema Rona Pelangi Khatulistiwa. Rancangan diilhami oleh aneka bentuk potongan busana yang ada di khatulistiwa ini.
Busana koleksi Oki Wong sangat cantik dan unik. Dimana busana dirancang dalam siluet fit and flaire, yaitu siluet yang menonjolkan feminitas dan keindahan untuk wanita. Busana diwujudkan dalam bentuk bustier yang dipadukan dengan aneka jaket pendek dan rok pendek. Jaket ada yang berlengan raglan, lengan model tulip, lengan poff (glembung), lengan balon maupun detail lipitan. Sedangkan rok dibuat dalam modela rok toutou (kembang) rok pias 6, rok pinsil berdraperi, rok tulip, rok semi klok maupun rok berlipit. Sedangkan untuk pria diolah menjadi aneka model kemeja maupun jaket untuk acara nonformal. Sehingga, songket Batubara yang dikenal formal dan kaku menjadi pakaian modis yang elegan dan bisa dikenakan oleh siapa saja. Terutama untuk orangmuda sekalipun. Bahan-bahannya sangat ringan, selain songket batubara, ada juga dari bahan taffeta, raw silk, chiffon silk, tulle, shantung silk, linen, katun.
“Soal harga itu tergantung bahan dan detil motifnya. Ada yang Rp150 ribu per potong, ada juga yang lebih dari itu,” ujarnya.
Selain untuk pakaian jadi, songket Batubara ini juga bisa dibuat menjadi aneka souvenir cantik, terutama untuk pesta perkawinan. Kreatifitas menciptakan produk kerajinan dengan bahan songket Batubara boleh diupayakan sebagai produk turunan songket. Seperti tas tangan bermotif songket Batubara, bisa juga pita atau bando bermotif songket, yang penting bisa memasyarakatkan kembali songket Batubara dan menghidupkan kembali bisnis ini untuk mengangkat citra produk daerah sekaligus juga mengangkat taraf hidup masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar